• MA ISLAMIYAH UJUNGPANGKAH
  • Bersama MA Islamiyah, Bisa! Madrasah Bermartabat, Madrasah Hebat!

Pemenang Lomba Cerpen (Online) di MA Islamiyah

Merdeka dari Rasayang Salah
Karya: Nur Afni Ayunda - XII IIS
 
Aku termenung, menatap bergantian kanvas kosong, palet cat, dan layar ponsel yang menampilkan beberapa file tugas yang kemarin malam dikirim temanku. Bayangkan dengan hanya menatapnya saja kau muak, bagaimana dengan mengerjakannya,hanya dengan melukis aku meluapkan emosi percampuran antara putus asa dan depresi,mataku memejam sekali lagi menghela nafas menata hati untuk mengerjakan beberapa tugas tersebut, kusebut ini konsentrasi.
 
“Jul...!”ayahku melantangkan suara untuk memanggilku, rahangku mengeras ingin rasanya kumemarahinya. “Jul... tolong periksa oven!”, dan bungkusbeberapa pesanan kue untuk sore ini, jangan lupa cuci tangan” perintah ayahku, kujambak pelan rambutku karena merasa putus asa dengan pandemi ini. “Oke yah...”melangkah lunglai serta melamun memikirkan bagaimana tugasku, SPP-ku, dan tak lupa uang kuota. Kubuka oven tua warisan keluarga, aroma manis merebak keseluruh ruangan seakan menggantikan hawa keputusaanku dengan keoptimisan ayah.
 
. . .
 
Begadang menjadi makanan sehari-hari, dimana jam malam menjadi surga bagiku yang memilih provider murah dengan kecepatan terbatas disiang hari. Tertidur setelah dzikir subuh menjadi hal lumrah dirumah ini, apalagi setelah ibu dikabarkan wafat di Taiwan setelah mencoba pulang ke tanah air,beberapa pihak mengatakan bahwa beliau menjadi salah satu korban covid,mendengar hal tersebut ayahku sangat terpukul, tawa lebarnya seakan menguap beberapa minggu,lalu kembali lagi dengan lebar yang berbeda.
 
Hari ini hari senin waktunyaupacara, mungkin terdengar konyol ketika aku mengatakannya, tapi percayalah sekolahku menyelenggarakan upacara online. Selalu kutanyakan alasannya mereka selalu menjawab “Sesakit apapun NKRI, tetap cintai dia, karena hanya cinta dari rakyatnya yang bisa menyembuhkannya....” selanjutnya aku tak ingat lagi bahasanya cukup berat bagiku yang masih mengenyam bangku kelas satu SMA. Setelah melaksanakan upacara kami melanjutkannya dengan mata pelajaran seperti biasanya, namun dengan segala keterbatasankumenjadisebuah tantangan yang cukup berat yang paling riskan adalah masalah keuangan benar-benar terjajah oleh pandemi ini.
 
Ayah menghampiriku setelahmenyelesaikan pekerjaannya “Jul, gimana SPPmu, ini ayah ada uang,mungkin cukup” “Pakai saja dulu untuk modal yah, toh penjualan kue kita cukup laku”. Ujarku seraya meninggalkan ayah,maafkan aku ayah sebenarnya aku sudah malu meminta uang, aku sudah besar terlalu besar untuk bergantung padamu, aku ingin merdeka dari rasa ini dan rasa terkurung di masa pandemi ini. Kini kuterbaring menghadap langit-langit kamar berharap poster Bung Tomo memberikan inspirasi “Jika anda menjadi anda, apa yang anda lakukan sekarang bung....” pikirku melayang membayangkan pertempuran besar didaerah hotel Yamato. aku tersentak, aku tahu apa yang harus ku lakukan.
 
. . .
 
Kutarik nafas aku cukup grogi, ini pesanan pertamaku. Kupejamkan mataku bayangkan sesuatu tentang “kekecewaan”. Itu yang dipinta klienku,aku tak mau mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaannya,ya meskipun dia temanku sendiri, aku ingin bersikap profesional. Ia ingin kulukiskan tentang sebuah gambaran kekecewaan “kecewa... kecewa... kecewa... bagiku kecewa adalah kebebasan yang direnggut”ku mulai dengan beberapa garisdan berakhir dengan lukisanseorang lelaki menteng sayap patah dan berdarah yang berlututdiatas tebing, raut wajahnya kubuat berteriak seakan marah pada dirinya yang telah mematahkan sayapnya sendiri. “Rin lukisanmu selesai, nanti ku bungkus dan kukirim lewat abang ojol”kini aku telpon Rini untuk konfirmasi pesanannya “Oke jul semoga ibu faham tentang aku denganlukisan ini, sebenarnya inicara terakhirku pada ibu,sudah berbagai cara aku mengungkapkan kekecewaanku pada beliauyang memaksaku menjadi penerusnya di butik, kau tahukan aku lebih suka otak atik vespa daripada berkutat dengan beberapa kain. Umm.... maaf curhat Jul, yasudah tunggu ojolnyadan transfer dari aku. Tuut......”aku tertegun, aku terdiam. “Tidak rin, sebenarnya aku yang harus berterima kasih, kau menyadarkanku bahwa aku lebih merdeka dengan keputusan ayahku yang menyetujui dan mendukung apapun yang aku lakukan”pikirku,mulai dari percakapan kecil ini aku bangkit dan memperjuangkan hakku yang terbelenggu keadaan, aku harus lebih giat mempromosikan lukisanku.
 
Matahari pagi menyambutku, setelah merenung semalaman gara-gara curhatan rinibeberapa minggu yang laluakuagak tersadar apa yang aku miliki saat ini mulai dari ayahku yang selalu optimis dansampaibakat melukisku yang beberapa hari sebelumnya kuanggap tidak berguna, ditengah berpikir haltersebutponselku berdering kulihat dilayarnya terpampang nomor yangtidak aku kenal, dengan malas aku mengangkat panggilan itu, setelah menjawab salam betapa terkejutnya aku saat mengetahui nomor tersebut merupakan nomor ayah Rini dalam hatiku mulai terasa was-wastentang lukisan yangRini pesanminggu kemarin, namun aku mencoba menutupi kekhawatiranku dengan basa-basi selayaknya menghubungi orang tua teman kita. “Jul, kaumelukis satu lukisan kadang berapa lama?”aku menelan ludah, takut bila adayang salah “sekitar dua harian om....”“bagus, sekarang aku pesan 3buah lukisanyang sekiranya cocok untuk ruang tamu,danruang kerja. Kamubisa kansecepatnya”potong ayah Rina, mataku terbelalak tak percaya “baik om akan saya kerjakan sekarang juga, namun saya meminta uang muka untuk cat dan kanvasnya”jujur aku sekarang tak punya cat sama sekali “nanti om transfer lewat Rini”dengan senang hati aku menerima pesanan tersebut.
 
. . .
 
Berkali-kali ponselku berdering, pesan singkat silih berganti masuk, pesanan melukis ini itu.Kinilukisanku banyak dipesan karena beberapa rekan kerjaayah Rinitertarik karenamelihat lukisanku menjadi background meeting online beliau. Meskipun uang yang kudapatkan hanya cukup untuk menambal jatah kuotadan membeli persediaan cat, setidaknya aku hampir merdeka dari rasa bergantung pada ayah. “Jul....! beli cat ?, kalau iya Ayah titipmentegasekalian, nanti tak kasih uang.” Ya ampun benar-benar ayah yang berdarah muda, beliausuka berteriak didalam rumah “Oke yah...sekalian nunggu abang ojol buat kirim lukisan, Julga usah dikasi uang, udah kaya hahaha” kini aku berani tertawa dan bercanda padaayah” Dasar pemuda sok tegar hahahahahahah” tawa ayahku tak kalah meledaksambil menyemprotkan handsanitizer ke-face sheild-ku.
 
Kini aku sadar, tanpa bergerak dan kesadaran diri kita tak akan merdeka dari belenggu pandemi ini, jika hanya mengeluh kita pastiberputar pada pusaranyang memusingkan diri dan berpeluang untuk depresi, maka dari itu aku bertekad melawan malas dan keputus asaan demi meraih kemerdekaankusendiridi masa pandemi, membuang jauh rasa merendah yang berkarat dalam pikiransempitku, dan akhirnya momen ini mengubah kepribadianku yang semula pesimis menjadi optimis dalam meraih mimpi di keterbatasanku.
 

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Pemenang Lomba cerpen Online di MA Islamiyah

Kemerdekaanku sedang Diuji Corona 20 Agustus 2020, Sri Andini   Hari ini matahari bersinar dengan penuh semangat. Hari dimana mendekati kemerdekaan Indonesia yang ke 75. Aku, Ab

01/09/2020 08:57 WIB - Administrator